Wednesday, March 3, 2010

Lagenda: Bob Marley Dalam Kenangan

Reggae jadi mendunia karena satu orang yang bernama Bob Marley. Para duta besar regage berebut memberi label atau penghargaan kepada Bob Marley. Dari tangan cowok blasteran ini lahirlah hits klasik seperti No Woman No Cry, I Shot the Sheriff, dan Waiting in Vain.


Bob Marley memiliki nama lengkap Robert Nesta Marley Bob Marley seorang penyanyi, penulis lagu, gitaris dan aktivis Jamaica. Terlahir dengan nama Robert Nesta Marley pada tanggal 6 Februari 1945 di Nine Miles, Saint Ann Parish dan besar di lingkungan miskin di Trenchtown, Jamaika. Bob Marley berayahkan seorang kulit putih dan ibu kulit hitam. Pada tahun 1950-an Bob beserta keluarganya pindah ke ibu kota Jamaika, Kingston. Tinggi badannya 172 cm
Di kota inilah obsesinya terhadap musik sebagai profesi menemukan pelampiasan. Waktu itu Bob Marley banyak mendengarkan musik R&B dan soul, yang kemudian hari menjadi inspirasi irama reggae, melalui siaran radio Amerika. Selain itu di jalanan Kingston dia menikmati hentakan irama Ska dan Steadybeat dan kemudian mencoba memainkannya sendiri di studio-studio musik kecil di Kingston.
Karier profesional dimulai ketika Bob masih remaja berusia 16an, bersama dua temannya, Bunny Livingston dan Peter McIntosh (Peter Tosh). Ia pertama kali rekaman pada tahun 1962, bersama The Teenagers atau yang juga dikenal sebagai The Wailing Rudeboys. Album perdana mereka keluar tahun 1963 dengan hit “Simmer Down”. Lirik lagu mereka banyak berkisah tentang “rude bwai” (rude boy), anak-anak muda yang mencari identitas diri dengan menjadi berandalan di jalanan Kingston.
The Wailing Wailers bubar pada pertengahan 1960-an dan sempat membuat penggagasnya patah arang hingga memutuskan untuk berkelana di Amerika. Tahun 1966, setelah menikahi Rita Anderson. Dan Rita-lah yang memperkenalkan Bob pada Rastafarianism.
April 1966 Bob kembali ke Jamaika, bertepatan dengan kunjungan HIM Haile Selassie I —raja Ethiopia– ke Jamaika untuk bertemu penganut Rastafari. Kharisma sang raja membawa Bob menjadi penghayat ajaran Rastafari pada tahun 1967, dan bersama The Wailer, band barunya yang dibentuk setahun kemudian bersama dua personil lawas Mc Intosh dan Livingston, dia menyuarakan nilai-nilai ajaran Rasta melalui reggae. Penganut Rastafari lantas menganggap Bob menjalankan peran profetik sebagaimana para nabi, menyebarkan inspirasi dan nilai Rasta melalui lagu-lagunya.
The Wailers bubar di tahun 1971, namun Bob segera membentuk band baru bernama Bob Marley and The Wailers. Tahun 1972 album Catch A Fire diluncurkan. Menyusul kemudian Burning (1973–berisi hits “Get Up, Stand Up” dan “ I Shot the Sheriff” yang dipopulerkan Eric Clapton), Natty Dread (1975), Rastaman Vibration (1976) dan Uprising (1981) yang makin memantapkan reggae sebagai musik mainstream dengan Bob Marley sebagai ikonnya.
Reggae sendiri merupakan irama musik yang berkembang di Jamaika. Reggae mungkin membekas di perasaan sebagian besar musik Jamaika, termasuk Ska, rocksteady, dub, dancehall, dan ragga.
Barangkali istilah pula berada dalam membeda-bedakan gaya teliti begitu berasal dari akhir 1960-an, apalagi sejak masa kepindahan Bob Marley. Musik reggae mulai membumi dan dikenal dunia.
Reggae sendiri berdiri di bawah gaya irama yang berkarakter mulut prajurit tunggakan pukulan, dikenal sebagai "skank", bermain oleh irama gitar, dan pemukul drum bass di atas tiga pukulan masing-masing ukuran, dikenal dengan sebutan "sekali mengeluarkan". Karakteristik, ini memukul lambat dari reggae pendahuluan, ska dan rocksteady.
Namun demikian, kepindahan Bob ke Amerika Serikat tidak bertahan lama. Dirinya tidak betah. Lantas Bob memutuskan untuk pulang dan memilih menyempurnakan lagu yang ditulisnya. Tahun 1973 bersama Island Records, Bob merekam dan merilis Catch a Fire.
The Wailers berkolaborasi dengan Lee Scratch Perry, menghasilkan hit-hit unggulan seperti Soul Rebel, Duppy Conquerer, 400 Years dan Small Axe. Kolaborasi tersebut berakhir pahit karena Perry menjualnya di Inggris tanpa persetujuan the Wailers. Namun peristiwa tersebut berbuah manis, Chris Blackwell, pemilik Island Records mengontrak the Wailers dan memproduseri album mereka CATCH A FIRE dan BURNIN.
Album inilah yang menyebarkan demam Reggae ke seluruh dunia. Pada saat itu Bob mampu memberikan pilihan baru kepada penggemar rock, bahwa dalam reggae Bob Marley menghadirkan kepercayaan diri, pemberontakan, dan keadilan.
Akhir yang Tragis
Pada tahun 1976, Bob Marley hijrah ke Inggris. Kreatifitasnya tak mereda, EXODUS berhasil nangkring di British charts selama 56 minggu. Kesuksesan ini diikuti album berikutnya, yaitu KAYA. Kesuksesan tersebut mampu mengantarkan musik reggae ke dunia barat untuk pertama kalinya.
Pada tahun 1977, Bob Marley divonis terkena kanker kulit, namun disembunyikan dari publik. Bob Marley kembali ke Jamaica tahun 1978, dan mengeluarkan SURVIVAL pada tahun 1979 diikuti oleh kesuksesan tur keliling Eropa.
Sampai tahun 1979, Bob jadi orang super sibuk karena turnya laku digelar di seluruh penjuru dunia dan juga di Madison Square Garden, venue yang waktu itu jadi barometer buat popularitas seorang artis kelas dunia.
Bob Marley melakukan 2 pertunjukan di Madison Square Garden dalam rangka merengkuh warga kulit hitam di Amerika Serikat. Namun pada tanggal 21 September 1980, Bob Marley pingsan saat jogging di NYC's Central Park. Kankernya telah menyebar sampai otak, paru-paru dan lambung. Tim dokter memastikan bahwa kanker yang mula-mula hanya ada di kaki sudah menjalar ke mana-mana, mulai dari ke otak, paru-paru, bahkan sampai ke liver.
Penyanyi reggae inipun akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya di Miami Hospital pada 11 Mei 1981 di usia 36 tahun, dengan meninggalkan seorang istri dan 5 orang anak.
Walaupun telah meninggal, nama Bob Marley seakan tidak pernah lenyap dari dunia musik, khususnya musik Reggae. Bahkan musik Reggae pun semakin diterima dunia. Mungkin ini lah salah satu cara yang harus dilakukan oleh sang dewa Reggae untuk tetap menghidupkan musik Reggae.
Bob Marley, sang legenda reggae, memang pantas menjadi legenda. Kesadarannya untuk mengajak orang memperjuangkan hak asasi mereka, kental tertuang dalam petikan salah satu syair lagunya yang sangat populer. Kesadaran dan kepeduliannya pada persoalan-persoalan sosial-politik bermetamorfosis dalam lagu-lagu ciptaannya sebagai satu kekuatan tersendiri yang menggelitik para penggemarnya. Itulah Bob Marley. Sikap dan perjuangannya jelas. Tak heran jika ada yang menjuluki Bob Marley sebagai nabinya para rasta, nabinya para reggae atau bahkan nabinya para pecandu.
Di Indonesia, kita punya Gombloh. Legenda penyanyi jalanan negeri kita yang tak berumur panjang itu, menggugah semua penggemarnya lewat lagu-lagu heroik untuk mencintai negerinya.
Sampai kini, lagu Kebyar Kebyar masih kerap berkumandang di sekolah-sekolah, di kampung-kampung kumuh, atau di lapak-lapak kaki lima. "Indonesia, merah darahku, putih tulangku, bersatu dalam semangat...." Syair sederhana yang dinyanyikan dengan tulus ini, tetap mampu menggetarkan sanubari dan merindingkan jiwa kita. Itulah Gombloh. Sikap dan perjuanganya juga jelas.
Gombloh memang telah tiada. Bob Marley pun sudah lama hengkang dari kejamnya dunia. Tapi sikap dan semangat perjuangan mereka terus hidup dan bisa kita rasakan melalui lagu-lagu mereka. Dan untuk mengubah kondisi Indonesia saat ini, perpaduan sikap dan semangat perjuangan Gombloh dan Bob Marley, sangatlah pas. Kita butuh semangat cinta bangsa cinta negeri yang tulus seperti yang didendangkan Gombloh. Kita juga perlu semangat keberanian untuk memperjuangkan hak-hak kita seperti yang dinyanyikan Bob Marley.

Penghargaan sang legenda
Pemerintah Jamaika menyatakan, pihaknya akan mendeklarasikan rumah Bob Marley di Kingston sebagai sebuah monumen nasional, 25 tahun setelah kematian legenda reggae itu.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Maxine Henry Wilson, pernah mengemukakan penghormatan itu diberikan sebagai pengakuan terhadap segala yang telah dikerjakan Marley untuk mempromosikan tanah airnya di Karibia di luar negeri.
Pada tahun 1978, Bob Marley pernah menerima Medali Perdamaian dari PBB sebagai penghargaan atas upayanya mempromosikan perdamaian melalui lagu-lagunya. Sayang, kanker mengakhiri hidupnya pada 11 Mei 1981 saat usia 36 tahun di ranjang rumah sakit Miami, AS, seusai menggelar konser internasional di Jerman. Sang Nabi kaum Rasta telah berpulang, namun inspirasi humanistiknya tetap mengalun sepanjang zaman.
One Love! One Heart!
Lets get together and feel all right.
Hear the children cryin (One Love!);
Hear the children cryin (One Heart!)
(One Love / People Get Ready)
Marley, yang meninggal dunia akibat kanker di Amerika Serikat pada 1981, akan genap berusia 62 tahun pada Mei ini. Dikenal sebagai Tuff Gong International, rumah Marley kini merupakan sebuah studio musik dan tujuan kunjungan wisata terkemuka bagi para turis.
Marley, yang masih tetap dianggap sebagai salah satu bintang pop musik paling dikenal, menerima Bintang Jasa (Order of Merit), penghargaan nasional tertinggi ketiga Jamaika, tak lama setelah kematiannya.
Namun demikian, para pejabat pemerintah telah berulang kali tak menanggapi seruan agar menjadikan Marley sebagai pahlawan nasional.
Sebagai penganut Rastafarian yang taat, dan seseorang yang menggunakan marijuana sebagai bagian kepercayaan agamanya, Marley telah lama berjuang bagi legalisasi dedaunan yang dikenal secara lokal sebagai ganja.
Belum diketahui secara pasti kapan upacara peresmian Tuff Gong, yang dalam bahasa slank Jamaika berarti suara keras, menjadi monumen nasional akan diselenggarakan.(*)

Lahirnya Rambut Gimbal

Selain Bob Marley dan Jamaika, rambut gimbal atau lazim disebut “dreadlocks” menjadi titik perhatian dalam fenomena reggae. Saat ini dreadlock selalu diidentikkan dengan musik reggae, sehingga secara kaprah orang menganggap bahwa para pemusik reggae yang melahirkan gaya rambut bersilang-belit (locks) itu. Padahal jauh sebelum menjadi gaya, rambut gimbal telah menyusuri sejarah panjang.
Konon, rambut gimbal sudah dikenal sejak tahun 2500 SM. Sosok Tutankhamen, seorang fir’aun dari masa Mesir Kuno, digambarkan memelihara rambut gimbal. Demikian juga Dewa Shiwa dalam agama Hindu. Secara kultural, sejak beratus tahun yang lalu banyak suku asli di Afrika, Australia dan New Guinea yang dikenal dengan rambut gimbalnya. Di daerah Dieng, Wonosobo hingga kini masih tersisa adat memelihara rambut gimbal para balita sebagai ungkapan spiritualitas tradisional.
Membiarkan rambut tumbuh memanjang tanpa perawatan, sehingga akhirnya saling membelit membentuk gimbal, memang telah menjadi bagian praktek gerakan-gerakan spiritualitas di kebudayaan Barat maupun Timur.
Kaum Nazarit di Barat, dan para penganut Yogi, Gyani dan Tapasvi dari segala sekte di India, memiliki rambut gimbal yang dimaksudkan sebagai pengingkaran pada penampilan fisik yang fana, menjadi bagian dari jalan spiritual yang mereka tempuh. Selain itu ada kepercayaan bahwa rambut gimbal membantu meningkatkan daya tahan tubuh, kekuatan mental-spiritual dan supernatural. Keyakinan tersebut dilatari kepercayaan bahwa energi mental dan spiritual manusia keluar melalui ubun-ubun dan rambut, sehingga ketika rambut terkunci belitan maka energi itu akan tertahan dalam tubuh.
Seiring dimulainya masa industrial pada abad ke-19, rambut gimbal mulai sulit diketemukan di daerah Barat. Sampai ketika pada tahun 1914 Marcus Garvey memperkenalkan gerakan religi dan penyadaran identitas kulit hitam lewat UNIA, aspek spiritualitas rambut gimbal dalam agama Hindu dan kaum tribal Afrika diadopsi oleh pengikut gerakan ini. Mereka menyebut diri sebagai kaum “Dread” untuk menyatakan bahwa mereka memiliki rasa gentar dan hormat (dread) pada Tuhan.
Rambut gimbal para Dread iniah yang memunculkan istilah dreadlocks—tatanan rambut para Dread. Saat Rastafarianisme menjadi religi yang dikukuhi kelompok ini pada tahun 1930-an, dreadlocks juga menjelma menjadi simbolisasi sosial Rasta (pengikut ajaran Rastafari).
Simbolisasi ini kental terlihat ketika pada tahun 1930-an Jamaika mengalami gejolak sosial dan politik. Kelompok Rasta merasa tidak puas dengan kondisi sosial dan pemerintah yang ada, lantas membentuk masyarakat tersendiri yang tinggal di tenda-tenda yang didirikan diantara semak belukar. Mereka memiliki tatanan nilai dan praktek keagamaan tersendiri, termasuk memelihara rambut gimbal. Dreadlocks juga mereka praktekkan sebagai pembeda dari para “baldhead” (sebutan untuk orang kulit putih berambut pirang), yang mereka golongkan sebagai kaum Babylon—istilah untuk penguasa penindas. Pertengahan tahun 1960-an perkemahan kelompok Rasta ditutup dan mereka dipindahkan ke daerah Kingston, seperti di kota Trench Town dan Greenwich, tempat dimana musik reggae lahir pada tahun 1968.
Ketika musik reggae memasuki arus besar musik dunia pada akhir tahun 1970-an, tak pelak lagi sosok Bob Marley dan rambut gimbalnya menjadi ikon baru yang dipuja-puja. Dreadlock dengan segera menjadi sebuah trend baru dalam tata rambut dan cenderung lepas dari nilai spiritualitasnya. Apalagi ketika pada tahun 1990-an, dreadlocks mewarnai penampilan para musisi rock dan menjadi bagian dari fashion dunia. Dreadlock yang biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk terbentuk, sejak saat itu bisa dibuat oleh salon-salon rambut hanya dalam lima jam! Aneka gaya dreadlock pun ditawarkan, termasuk rambut aneka warna dan “dread perms” alias gaya dreadlock yang permanen.
Meski cenderung lebih identik dengan fashion, secara mendasar dreadlock tetap menjadi bentuk ungkap semangat anti kekerasan, anti kemapanan dan solidaritas untuk kalangan minoritas tertindas.

Sumber kiftiya.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...